Menavigasi Inovasi: Perjalanan Regulatory Sandbox Indonesia

Regulatory sandbox (ruang uji terbatas) merupakan pendekatan yang esensial dalam membina inovasi di sektor digital dan teknologi finansial (fintech) Indonesia yang sedang berkembang pesat. Seiring dengan upaya pemerintah untuk menavigasi kompleksnya transformasi digital, sejumlah inisiatif sandbox telah dibuat untuk menyeimbangkan inovasi dengan pengawasan regulasi. Artikel dari Center for Indonesian Policy Studies ini mengupas lanskap regulatory sandbox di Indonesia, menggali perkembangan, tantangan, serta pelajaran yang dapat dipetik untuk meningkatkan inovasi kebijakan ke depannya.

Oleh Anton Rizki (Chief Executive Officer) dan Muhammad Nidhal (Peneliti Kebijakan), Center for Indonesian Policy Studies

Sektor teknologi finansial (fintech) Indonesia sedang mengalami pertumbuhan pesat yang didorong oleh meningkatnya penetrasi digital, fasilitasi regulasi, dan keterlibatan positif investor. Regulatory sandbox (ruang uji coba terbatas) telah menjadi instrumen kebijakan yang krusial untuk menggiatkan inovasi sekaligus memastikan pengawasan regulasi, khususnya di sektor digital Indonesia yang tengah berkembang. Laporan Tech for Good Institute (TFGI), “Sandbox bagi Masyarakat: Membina Inovasi di Asia Tenggara“, memberikan wawasan mendalam terkait regulatory sandbox di Asia Tenggara sebagai kerangka yang solid untuk menganalisis perjalanan Indonesia, pelajaran yang dapat dipetik, serta potensi implikasinya di masa mendatang.

 

Kondisi Regulatory Sandbox di Indonesia Saat ini

Sejak penerapan regulatory sandbox untuk pertama kalinya pada 2017–2018, baik Bank Indonesia (BI)—bank sentral yang mengawasi pembayaran digital—maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang mengawasi inovasi teknologi sektor keuangan (ITSK) dan industri keuangan nonperbankan, telah mencatat kemajuan yang signifikan. Inisiatif-inisiatif yang mereka lakukan telah membuahkan berbagai hasil yang berkelanjutan dan pelajaran berharga untuk menyusun strategi sandbox yang terkoordinasi di masa depan.

Pada 2021, BI meluncurkan Sandbox 2.0, dengan tiga fungsi yang lebih luas: laboratorium inovasi (Innovation Lab), uji coba industri (Industrial Sandbox), dan regulasi (Regulatory Sandbox). Pada saat yang sama, OJK menerbitkan regulasi baru yang bertujuan memperbaiki kelemahan-kelemahan kerangka kerja sebelumnya. Regulasi yang diperbarui ini memperbaiki kriteria kelayakan, memperjelas hasil yang diharapkan, serta menetapkan kebijakan mekanisme keluar (exit policy) yang lebih kuat sehingga menyederhanakan proses sandbox dan memberikan pedoman yang lebih jelas bagi para perusahaan yang berpartisipasi.

Memahami adanya tumpang tindih wewenang dalam regulasi sektor fintech, Pemerintah Indonesia kini tengah mempelajari pembuatan “sandbox terkoordinasi” yang melibatkan BI dan OJK. Inisiatif ini mengakui bahwa banyak inovasi fintech berada di bawah pengawasan dua lembaga tersebut. Dengan demikian, diharapkan dapat tercipta iklim regulasi yang lebih kohesif.

Selain di sektor fintech, regulatory sandbox juga telah diterapkan di industri kesehatan. Pada April 2023, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia membuka kembali Program Regulatory Sandbox Inovasi Digital Kesehatan, dengan fokus pada diagnostik medis. Ekspansi ini menunjukkan fleksibilitas pendekatan sandbox dan potensi penerapannya di berbagai sektor.

 

Berbagai Tantangan dalam Lanskap Regulatory Sandbox

Sejak diresmikannya sandbox fintech OJK pada 2018, terdapat 458 permohonan dari berbagai model bisnis fintech untuk mengujicobakan inovasinya. Dari 2023 hingga 2024, OJK memadatkan klaster fintech yang awalnya berjumlah 15 menjadi hanya dua klaster utama: penilaian kredit inovatif (innovative credit scoring) dan agregator. Per Juli 2024, lebih dari 90 penyelenggara ITSK berminat untuk masuk regulatory sandbox OJK, dengan 35 penyelenggara direkomendasikan melakukan pendaftaran dan satu penyelenggara telah terdaftar di OJK.

Kendati demikian, studi Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) pada 2023 mengidentifikasi sejumlah tantangan utama dalam implementasi regulatory sandbox. Tantangan-tantangan tersebut, yang juga relevan di negara ASEAN lainnya, disoroti dalam laporan TFGI. Salah satunya adalah peluang berusaha yang tidak setara (uneven playing field), di mana sandbox terindikasi lebih mendukung penyelenggara yang ditunjuk sebagai “prototype” sehingga menghalangi partisipasi secara lebih luas dan pertukaran informasi. Selain itu, kurangnya kejelasan dalam proses sandbox berdampak terhadap hasil yang diharapkan dan mekanisme keluar. Hal tersebut dapat merongrong legitimasi regulator dan peserta regulatory sandbox di mata investor dan mitra.

Salah satu tantangan besar lainnya adalah kurangnya sumber daya dan keahlian yang dimiliki lembaga-lembaga regulator. Keberhasilan regulatory sandbox bergantung kepada sumber daya, keterampilan, dan keahlian teknis, yang sering kali masih kurang memadai, sehingga menyebabkan pertukaran informasi yang kurang lengkap dan lambatnya pemberian umpan balik (feedback) kepada para pesertanya.

 

Peluang-Peluang Selain Sandbox yang Berfokus pada Inovasi

Laporan TFGI tentang regulatory sandbox di Asia Tenggara menyajikan wawasan berharga yang dapat menjadi landasan guna memperbaiki pendekatan yang digunakan Pemerintah Indonesia. Laporan tersebut memperkenalkan tipologi sandbox, yang memberikan kerangka untuk memahami kondisi saat ini maupun potensi regulatory sandbox di masa depan.

Fokus utama regulatory sandbox di Indonesia adalah pada inovasi dan pendekatan yang bersifat konsultatif, serupa dengan tren yang dapat dilihat di enam negara Asia Tenggara secara luas (SEA-6). Tujuan sandbox adalah memungkinkan model bisnis baru atau perusahaan startup untuk mengujicobakan produknya di dunia nyata di bawah pengawasan regulasi. Akan tetapi, sandbox yang ada lebih berfokus pada memberikan nasihat kepada perusahaan agar patuh dengan regulasi yang berlaku, alih-alih menyesuaikan regulasi dengan inovasi.

Meski memungkinkan pengujicobaan gagasan-gagasan baru, pendekatan ini membatasi potensi sandbox untuk mengatasi hambatan regulasi atau mendorong perubahan regulasi. Suatu inovasi dianggap berhasil dan “lolos” dari sandbox jika mematuhi regulasi yang ada. Namun, pendekatan yang berfokus pada kepatuhan terhadap regulasi ini justru tidak selalu memfasilitasi pengembangan regulasi yang dibutuhkan untuk menyeimbangi kemajuan teknologi yang pesat. Alhasil, potensi regulatory sandbox sebagai instrumen inovasi kebijakan justru terhambat.

Fokus Indonesia pada inovasi dan pendekatan yang bersifat penasihat memang selaras dengan praktik-praktik yang umum diterapkan, tetapi ada potensi untuk mengembangkan pemanfaatan sandbox dengan belajar dari berbagai pengalaman di SEA-6. Sebagai contoh, beberapa negara di kawasan ini telah menggunakan sandbox tidak hanya untuk mengujicobakan inovasi, tetapi juga sebagai instrumen untuk mempelajari regulasi dan mengembangkan kebijakan. Indonesia dapat mengadopsi perspektif yang lebih luas ini untuk meningkatkan dampak inisiatif-inisiatif sandbox-nya, terutama dalam meregulasi berbagai teknologi yang sedang berkembang (emerging technologies), seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI), drone, mobil pintar, atau kota cerdas (smart city). Pemerintah perlu mengambil pendekatan yang mengantisipasi inovasi teknologi-teknologi ini di masa depan, alih-alih hanya memastikan kepatuhannya terhadap regulasi.

Perhatian lebih lanjut juga perlu diarahkan kepada upaya kolaborasi lintas negara terkait inisiatif sandbox, khususnya dalam konteks Perjanjian Kerangka Kerja Ekonomi Digital (Digital Economy Framework Agreement) ASEAN. Laporan TFGI menunjukkan bahwa kerja sama regional dapat mempercepat pemahaman dan mendorong harmonisasi pendekatan regulasi. Indonesia dapat menggali peluang-peluang berbagi pengetahuan dan inisiatif sandbox yang dapat dilaksanakan secara kolaboratif dengan negara Asia Tenggara lainnya, misalnya di bidang sistem pembayaran yang akan memfasilitasi pembayaran lintas negara sekaligus mengatasi isu pelindungan konsumen dan kedaulatan data (data sovereignty).

 

Rekomendasi untuk Mengoptimalkan Inovasi Kebijakan

Berdasarkan pelajaran-pelajaran yang dipetik dari pengalaman di kawasan Asia Tenggara secara luas, Indonesia dapat memperbaiki pendekatan sandbox-nya dengan memosisikan diri sebagai inovator regulasi, sembari mengatasi tantangan-tantangan unik yang dihadapi. Untuk mewujudkan hal tersebut, kami mengusulkan rekomendasi-rekomendasi berikut.

  • Memperkuat Fondasi Kelembagaan dan Landasan Hukum: Indonesia dapat belajar dari model-model yang telah berhasil di negara-negara lain, seperti Singapura atau Malaysia, khususnya terkait sandbox lintas sektor. Pengintegrasian mekanisme sandbox ke dalam proses pengembangan regulasi pada tingkat yang lebih tinggi dapat membantu mengatasi persoalan koordinasi antarlembaga.
  • Memperbaiki Desain Sandbox dengan Tujuan yang Lebih Jelas: Berdasarkan perbaikan yang dilakukan OJK baru-baru ini, terdapat peluang untuk menyempurnakan tujuan regulatory sandboxes lebih dari sekadar meningkatkan kepatuhan, yakni dengan berfokus pada penyesuaian dan antisipasi regulasi untuk mendorong inovasi dan regulasi yang efektif.
  • Menggali Alternatif Pendekatan Inovasi Kebijakan: Meski sangat bermanfaat, sandbox tidak dapat diaplikasikan secara universal. Sangatlah penting untuk menumbuhkan semangat kolaborasi antara regulator dan perusahaan, dengan memprioritaskan inovasi serta melindungi konsumen dan kepentingan masyarakat.
  • Meningkatkan Kolaborasi Lintas Negara: Kolaborasi lintas negara terkait inisiatif sandbox merupakan hal yang sangat krusial, terutama di kawasan ASEAN. Indonesia dapat memanfaatkan kerja sama regional dalam hal inisiatif sandbox, terutama di bidang-bidang seperti sistem pembayaran, untuk memfasilitasi pembayaran lintas negara sekaligus mengatasi persoalan pelindungan konsumen dan kedaulatan data.

Sebagai kesimpulan, perjalanan Indonesia dalam mengembangkan regulatory sandbox telah memperlihatkan komitmennya untuk memupuk inovasi, tetapi tetap menjaga pengawasan regulasi. Upaya-upaya yang telah dilakukan BI dan OJK untuk menyempurnakan kerangka sandbox menunjukkan bahwa mereka sangat mengakui pentingnya instrumen ini untuk menunjang sektor fintech dan digital yang berkembang pesat. Namun, seiring dengan hal tersebut, terdapat kebutuhan mendesak untuk memperluas ruang lingkup dan manfaat sandbox lebih dari sekadar meningkatkan kepatuhan, serta menggunakan sandbox sebagai instrumen inovasi kebijakan secara lebih luas.

 

Tentang penulis:

Anton Rizki adalah Chief Operating Officer dari Centre for Indonesian Policy Studies (CIPS), sebuah lembaga pengkaji kebijakan (think tank) independen, nirlaba, dan nonpartisan yang berbasis di Jakarta. Sebelum memimpin CIPS, ia bekerja di sektor pangan dan pertanian serta menjabat sebagai direktur utama sebuah perusahaan konsultan komunikasi dan urusan publik terkemuka di Indonesia. Ia telah memberikan nasihat kepada perusahaan multinasional, BUMN, dan organisasi internasional mengenai kebijakan publik, risiko politik, dan keterlibatan pemangku kepentingan. Anton memiliki gelar master dalam Ilmu Politik dari Université Libre de Bruxelles, Belgia, dan gelar master dalam Komunikasi dan Pemasaran dari Leeds University Business School.

Muhammad Nidhal adalah Peneliti Kebijakan di CIPS. Ia telah terlibat dalam berbagai proyek penelitian dan konsultansi, dengan fokus utama pada ekonomi digital, geopolitik regional, tata kelola teknologi, pembangunan infrastruktur, dan kemitraan Utara-Selatan yang setara. Minat penelitiannya terletak pada hubungan antara inklusi digital dan kebijakan publik. Sebelum bergabung dengan CIPS, ia bekerja di Kedutaan Besar Uzbekistan di Jakarta sebagai Asisten Bagian Politik dan Ekonomi. Ia memegang gelar sarjana dalam Hubungan Internasional, dengan studi minor dalam Studi Pascakolonial.

 

Pandangan dan rekomendasi yang diungkapkan dalam artikel ini sepenuhnya merupakan milik penulis dan tidak serta-merta mencerminkan pandangan dan posisi Tech for Good Institute.

 

Download Report

Download Report

Latest Updates

Latest Updates​

Tag(s):

Keep pace with the digital pulse of Southeast Asia!

Never miss an update or event!

Mouna Aouri

Programme Fellow

Mouna Aouri is an Institute Fellow at the Tech For Good Institute. As a social entrepreneur, impact investor, and engineer, her experience spans over two decades in the MENA region, South East Asia, and Japan. She is founder of Woomentum, a Singapore-based platform dedicated to supporting women entrepreneurs in APAC through skill development and access to growth capital through strategic collaborations with corporate entities, investors and government partners.

Dr Ming Tan

Founding Executive Director

Dr Ming Tan is founding Executive Director for the Tech for Good Institute, a non-profit founded to catalyse research and collaboration on social, economic and policy trends accelerated by the digital economy in Southeast Asia. She is concurrently a Senior Fellow at the Centre for Governance and Sustainability at the National University of Singapore and Advisor to the Founder of the COMO Group, a Singaporean portfolio of lifestyle companies operating in 15 countries worldwide.  Her research interests lie at the intersection of technology, business and society, including sustainability and innovation.

 

Ming was previously Managing Director of IPOS International, part of the Intellectual Property Office of Singapore, which supports Singapore’s future growth as a global innovation hub for intellectual property creation, commercialisation and management. Prior to joining the public sector, she was Head of Stewardship of the COMO Group and the founding Executive Director of COMO Foundation, a grantmaker focused on gender equity that has served over 47 million women and girls since 2003.

 

As a company director, she lends brand and strategic guidance to several companies within the COMO Group. Ming also serves as a Council Member of the Council for Board Diversity, on the boards of COMO Foundation and Singapore Network Information Centre (SGNIC), and on the Digital and Technology Advisory Panel for Esplanade–Theatres on the Bay, Singapore’s national performing arts centre.

 

In the non-profit, educational and government spheres, Ming is a director of COMO Foundation and Singapore Network Information Centre (SGNIC) and chairs the Asia Advisory board for Swiss hospitality business and management school EHL. She also serves on  the Council for Board Diversity and the Digital and Technology Advisory Panel for Esplanade–Theatres on the Bay, Singapore’s national performing arts centre.

 

Ming was educated in Singapore, the United States, and England. She obtained her bachelor’s and master’s degrees from Stanford University and her doctorate from Oxford.