Memanfaatkan Platform Digital untuk Kesejahteraan Inklusif di Asia Tenggara

Selain manfaat ekonominya, platform digital berperan penting dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan melalui efisiensi, aksesibilitas, skala, dan kelincahannya. Dalam artikel ini, Samsu Sempena, Direktur Teknologi Program Kartu Prakerja, dan Romora Edward Sitorus, Kepala Ekonom Program Kartu Prakerja—program beasiswa pelatihan yang dipimpin pemerintah untuk meningkatkan kompetensi kerja dan kewirausahaan—membahas bagaimana platform digital dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan inklusif di seluruh Asia Tenggara.

Artikel ini juga tersedia dalam versi English di laman Tech for Good Institute berikut.

Oleh Samsu Sempena, Direktur Teknologi Program Kartu Prakerja, dan Romora Edward Sitorus, Kepala Ekonom Program Kartu Prakerja

Ekonomi digital Asia Tenggara berkembang pesat, mengubah masyarakat dan ekonomi di seluruh kawasan. Dengan PDB gabungan sebesar $3,6 triliun pada tahun 2022, ASEAN menjadi ekonomi terbesar kelima di dunia dan diproyeksikan menjadi yang keempat terbesar pada tahun 2030. Ekonomi digital tidak hanya menjadi mesin pertumbuhan ekonomi yang kuat tetapi juga mendorong penciptaan lapangan kerja, mendukung hampir 30 juta pekerjaan di seluruh kawasan. Platform daring membantu lebih dari 20 juta pedagang dan 6 juta restoran mengembangkan operasinya secara digital.

Laporan Tech for Good Institute mengeksplorasi bagaimana ekspansi pesat ini didorong oleh platform digital di berbagai sektor, masing-masing berkontribusi unik terhadap kemajuan ekonomi dan sosial. Dalam e-commerce, platform seperti Tokopedia dan Bukalapak memberdayakan usaha kecil, sementara layanan transportasi seperti Grab dan Gojek meningkatkan mobilitas dan menciptakan sumber pendapatan baru. Platform kesehatan digital seperti Doctor Anywhere dan Halodoc meningkatkan akses ke layanan medis, dan platform keuangan seperti OVO dan GCash memfasilitasi transaksi digital bagi jutaan orang di Asia Tenggara. Secara kolektif, platform-platform ini membentuk ekosistem digital yang kuat, mendefinisikan ulang aksesibilitas dan peluang.

Dengan lebih dari 460 juta pengguna internet dan 125.000 pengguna baru setiap hari, Asia Tenggara berada di ambang menjadi pemimpin digital global. Boston Consulting Group memproyeksikan bahwa ekonomi digital ASEAN dapat melampaui $1 triliun pada tahun 2030, dengan potensi untuk berlipat ganda menjadi $2 triliun jika kerangka kerja regional, seperti Perjanjian Kerangka Ekonomi Digital ASEAN (DEFA), mendorong integrasi yang lebih besar. Pertumbuhan ini menandai pergeseran penting dalam lanskap ekonomi Asia Tenggara, di mana platform digital menghubungkan kemajuan ekonomi dengan pengembangan sosial dan lingkungan.


Memanfaatkan Platform Digital untuk Dampak Sosial dan Lingkungan

Platform digital di Asia Tenggara semakin memberikan manfaat sosial dan memperkuat ketahanan yang melampaui pertumbuhan ekonomi semata. Platform-platform ini mencapai dampak tersebut dengan memanfaatkan empat fitur utama: efisiensi, skala, aksesibilitas, dan kelincahan. Fitur-fitur ini memungkinkan proses yang lebih efisien, jaringan pengguna yang lebih besar, hambatan masuk yang berkurang, dan adaptasi cepat terhadap tantangan yang muncul, yang semuanya berkontribusi pada inklusi ekonomi yang lebih besar dan ketahanan.

Sebagai contoh, selama pandemi COVID-19, Grab memanfaatkan efisiensi dan kelincahannya untuk beradaptasi dengan cepat, memperluas layanan seperti GrabMart dan GrabAssistant. Ini tidak hanya menciptakan peluang pendapatan baru tetapi juga memastikan kelangsungan layanan penting dengan protokol kesehatan yang ketat. Demikian pula, skala platform seperti GCash menunjukkan kekuatan menggerakkan sumber daya dengan cepat dan efektif. Dengan basis pengguna 90 juta, inisiatif Tulong Mo I-GCash Mo dari GCash memungkinkan warga Filipina di luar negeri untuk mengirim dana langsung ke keluarga dan LSM yang terdampak Topan Carina, menunjukkan bagaimana jaringan besar dapat memperbesar upaya dukungan di saat krisis.

Skala dan aksesibilitas Shopee juga memberdayakan petani lokal di Vietnam melalui inisiatif Ton Vinh Nong San Viet bekerja sama dengan FoodMap. Dengan menghubungkan petani langsung dengan konsumen di platformnya, Shopee membantu meningkatkan mata pencaharian dan mendukung praktik pertanian berkelanjutan, menjadikan e-commerce sebagai alat pertumbuhan ekonomi pedesaan.

Selain itu, komitmen Ant International terhadap keberlanjutan melalui Program Sirius menunjukkan bagaimana kolaborasi dapat mendorong dampak lingkungan. Program ini membekali UMKM di Asia Tenggara dengan alat untuk mengadopsi praktik berkelanjutan, memperkuat ketahanan dan tanggung jawab bisnis di ekosistem digital kawasan ini.

Akhirnya, kombinasi efisiensi, skala, aksesibilitas, dan kelincahan memungkinkan platform digital merespons kebutuhan yang terus berkembang dengan cepat. Program Kartu Prakerja yang dipimpin oleh pemerintah Indonesia menjadi contoh dengan menyediakan pilihan pembelajaran daring, luring, dan hibrida untuk melatih, melatih ulang, dan meningkatkan keterampilan. Dengan mengatasi hambatan tradisional seperti waktu, jarak, dan biaya, program ini memastikan individu dapat mengakses pelatihan dari mana saja, mendukung pembelajaran sepanjang hayat di tengah transisi rangkap tiga—hijau, digital, dan demografis—yang telah menyebabkan disrupsi keterampilan dan mengubah pasar tenaga kerja dalam beberapa dekade terakhir.

Fitur-fitur ini menunjukkan bagaimana platform digital dapat mengatasi tantangan sosial yang kompleks, mendukung kesehatan masyarakat, memperkuat ketahanan, dan meningkatkan akses serta kesejahteraan yang inklusif di Asia Tenggara.


Mengembangkan Platform Digital Melampaui Pertumbuhan Ekonomi: Tantangan dan Strategi Kebijakan

Platform digital Asia Tenggara memiliki potensi besar untuk mendorong pengembangan ekonomi dan sosial. Namun, hanya sedikit pemerintah di kawasan ini yang berhasil memastikan bahwa pertumbuhan ini menguntungkan semua sektor, dengan kemajuan yang adil tetap menjadi tantangan signifikan. Kemajuan pesat ekonomi digital memperkenalkan peluang sekaligus tantangan.

Ada tiga tantangan utama yang dihadapi platform digital Asia Tenggara untuk mencapai potensi penuhnya.

Pertama, literasi digital tetap menjadi perhatian. Meskipun populasi Asia Tenggara didominasi oleh kaum muda—dengan 380 juta orang berusia di bawah 35 tahun—banyak yang masih kekurangan keterampilan digital dasar. Laporan ASEAN dan UNICEF tahun 2021 menemukan bahwa hanya 39% individu berusia 10–24 tahun yang menerima pendidikan keterampilan digital di sekolah, membatasi kesiapan digital generasi mendatang. Kesenjangan keterampilan ini tidak hanya memengaruhi kaum muda tetapi juga usaha mikro dan kecil, yang mencakup antara 97,2% hingga 99,9% dari total usaha di Negara Anggota ASEAN. Tanpa keterampilan digital yang memadai, bisnis ini kesulitan mengadopsi alat digital, membatasi kemampuan mereka untuk bersaing dan berkembang dalam ekonomi digital.

Kedua, akses digital masih terbatas. Akses ke infrastruktur digital, termasuk internet yang andal dan perangkat yang terjangkau, tetap tidak merata, terutama antara daerah perkotaan dan pedesaan. Banyak komunitas pedesaan dan terpinggirkan masih menghadapi konektivitas yang terbatas atau tidak konsisten, membatasi kemampuan mereka untuk berpartisipasi penuh dalam ekonomi digital. Kesenjangan digital ini menghambat peluang individu dan membatasi ekspansi pasar platform digital di wilayah tersebut.

Ketiga, standar tata kelola data dan regulasi privasi yang tidak konsisten di seluruh negara ASEAN menimbulkan tantangan. Perbedaan ini mempersulit berbagi data, meningkatkan kekhawatiran keamanan, dan mengganggu integrasi digital yang mulus di kawasan ini. Seiring berkembangnya ekonomi digital, aliran data lintas batas menjadi semakin vital untuk perdagangan, inovasi, dan operasi bisnis global yang efisien. Membangun kepercayaan digital sangat penting, karena pengguna dan bisnis memerlukan jaminan bahwa data mereka dilindungi dari penyalahgunaan dan ancaman siber.

Untuk mewujudkan manfaat publik penuh dari platform digital, pemerintah di Asia Tenggara harus memprioritaskan investasi dalam infrastruktur publik digital dan teknologi dasar, seperti pembayaran digital yang aman, verifikasi identitas, dan privasi data. Kerangka kerja regional seperti ASEAN Digital Economy Framework Agreement (DEFA) dan ASEAN Digital Masterplan 2025 menyediakan peta jalan strategis untuk integrasi lintas batas, meningkatkan keamanan siber, mendorong mobilitas talenta, dan memastikan inklusi digital.

Saat Asia Tenggara bergerak menuju masa depan yang didorong secara digital, ekosistem platform digital akan menjadi esensial dalam mendorong pertumbuhan inklusif dan ketahanan di seluruh kawasan. Dengan menyelaraskan kebijakan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan mempromosikan kolaborasi regional, Asia Tenggara dapat memanfaatkan kekuatan platform ini untuk mendorong kemakmuran bersama dan menempatkan dirinya sebagai pemimpin global dalam ekonomi digital.


Pandangan dan rekomendasi yang diungkapkan dalam artikel ini sepenuhnya milik penulis dan tidak mencerminkan pandangan dan posisi dari Tech for Good Institute

 

 

Tentang Penulis

Samsu Sempena adalah Direktur Teknologi untuk Program Kartu Prakerja. Dalam perannya, ia memimpin integrasi data dan server dengan platform digital, memastikan keamanan sistem dan efisiensi operasional. Samsu juga diakui sebagai salah satu Forbes Indonesia’s 30 Under 30.

Romora Edward Sitorus adalah Kepala Ekonom Program Kartu Prakerja. Ia mengawasi analisis pasar tenaga kerja, proses pemantauan dan evaluasi, serta upaya advokasi untuk memperkuat dampak dan keberlanjutan program. Romora juga merupakan pendiri podcast Hive Intelligence, di mana ia mengeksplorasi topik terkait masa depan pekerjaan.

Download Report

Download Report

Latest Updates

Latest Updates​

Tag(s):

Keep pace with the digital pulse of Southeast Asia!

Never miss an update or event!

Mouna Aouri

Programme Fellow

Mouna Aouri is an Institute Fellow at the Tech For Good Institute. As a social entrepreneur, impact investor, and engineer, her experience spans over two decades in the MENA region, South East Asia, and Japan. She is founder of Woomentum, a Singapore-based platform dedicated to supporting women entrepreneurs in APAC through skill development and access to growth capital through strategic collaborations with corporate entities, investors and government partners.

Dr Ming Tan

Founding Executive Director

Dr Ming Tan is founding Executive Director for the Tech for Good Institute, a non-profit founded to catalyse research and collaboration on social, economic and policy trends accelerated by the digital economy in Southeast Asia. She is concurrently a Senior Fellow at the Centre for Governance and Sustainability at the National University of Singapore and Advisor to the Founder of the COMO Group, a Singaporean portfolio of lifestyle companies operating in 15 countries worldwide.  Her research interests lie at the intersection of technology, business and society, including sustainability and innovation.

 

Ming was previously Managing Director of IPOS International, part of the Intellectual Property Office of Singapore, which supports Singapore’s future growth as a global innovation hub for intellectual property creation, commercialisation and management. Prior to joining the public sector, she was Head of Stewardship of the COMO Group and the founding Executive Director of COMO Foundation, a grantmaker focused on gender equity that has served over 47 million women and girls since 2003.

 

As a company director, she lends brand and strategic guidance to several companies within the COMO Group. Ming also serves as a Council Member of the Council for Board Diversity, on the boards of COMO Foundation and Singapore Network Information Centre (SGNIC), and on the Digital and Technology Advisory Panel for Esplanade–Theatres on the Bay, Singapore’s national performing arts centre.

 

In the non-profit, educational and government spheres, Ming is a director of COMO Foundation and Singapore Network Information Centre (SGNIC) and chairs the Asia Advisory board for Swiss hospitality business and management school EHL. She also serves on  the Council for Board Diversity and the Digital and Technology Advisory Panel for Esplanade–Theatres on the Bay, Singapore’s national performing arts centre.

 

Ming was educated in Singapore, the United States, and England. She obtained her bachelor’s and master’s degrees from Stanford University and her doctorate from Oxford.