Oleh Beltsazar Arya Krisetya, Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial, Centre for Strategic and International Studies
Ekonomi digital Indonesia diprediksi akan terus mengalami pertumbuhan. Menjelang akhir masa jabatannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memperkirakan bahwa nilai ekonomi digital Indonesia bisa mencapai antara 210 hingga 360 miliar dolar AS pada tahun 2030. Faktor pendorong utama pertumbuhan ini adalah bonus demografi, di mana 68% penduduk Indonesia diproyeksikan akan berada dalam usia produktif pada tahun tersebut.
Sepanjang semester pertama tahun 2024, pemerintah telah melakukan pembaruan pada berbagai aspek regulasi, mulai dari undang-undang nasional, kebijakan sektoral, hingga peraturan teknis. Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan dan keamanan di dunia digital. Namun, regulasi yang semakin kompleks ini juga berpotensi menghambat inovasi dan akses pasar, terutama bagi pelaku usaha kecil. Meski pendekatan pemerintah cukup menyeluruh, masih diperlukan keseimbangan antara aspek keamanan digital dan fleksibilitas agar ekonomi digital Indonesia tetap kompetitif.
Pergantian kepemimpinan ke pemerintahan Prabowo Subianto pada 20 Oktober 2024 akan menambah dinamika dalam lanskap regulasi. Prioritas dan pendekatan pemerintah baru terhadap kebijakan ekonomi digital mungkin akan mengubah atau menyempurnakan kerangka regulasi yang sudah ada. Selama masa transisi ini, efektivitas regulasi dan perubahan pejabat di berbagai lembaga kemungkinan akan diuji, mengingat pemerintah baru akan berusaha menyeimbangkan antara kelanjutan program yang sudah berjalan dengan visi mereka sendiri untuk masa depan digital Indonesia.
Perombakan Pejabat di Kementerian dan Lembaga Negara
Pergantian pimpinan di berbagai lembaga regulator Indonesia dapat dilihat sebagai upaya untuk menyelaraskan program yang sedang berjalan dengan prioritas pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto. Contohnya, pengangkatan Thomas Djiwandono sebagai Wakil Menteri Keuangan II. Thomas, yang sebelumnya menjabat sebagai bendahara umum Partai Gerindra sejak 2014 dan merupakan kerabat Prabowo, ditugaskan untuk menyesuaikan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 dengan program-program pemerintahan baru. Fokus utamanya adalah menjaga disiplin fiskal dan memastikan defisit anggaran tetap di bawah 3% dari PDB.
Di Kementerian Investasi, Rosan Roeslani, yang sebelumnya menjabat sebagai ketua tim kampanye Prabowo, diangkat menjadi Menteri Investasi/Kepala BKPM yang baru. Salah satu tugas utama Rosan adalah menarik investasi untuk pembangunan ibu kota baru, sejalan dengan prioritas pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur pemerintahan mendatang. Sementara itu, Bahlil Lahadalia, mantan kepala BKPM, kini menjabat sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral serta terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar, salah satu partai besar dalam koalisi pemerintah yang akan datang.
Pola serupa juga terjadi di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Angga Raka Prabowo, seorang loyalis lama dan tokoh penting dalam lingkaran Prabowo, diangkat sebagai Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika II. Selain itu, dua direktur jenderal Kominfo mengundurkan diri menyusul insiden Pusat Data Nasional Sementara (PDNS). Pasca kejadian tersebut, Hokky Situngkir, seorang ahli sistem kompleks, ditunjuk sebagai Direktur Jenderal Aplikasi Informatika (Aptika). Langkah ini dapat diartikan sebagai upaya untuk memperkuat keamanan siber. Sementara itu, Prabu Revolusi, seorang praktisi komunikasi, diangkat sebagai Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP). Hal ini mencerminkan fokus baru Kominfo untuk komunikasi publik yang lebih baik.
Perubahan kepemimpinan ini mungkin akan mempengaruhi implementasi kebijakan jangka pendek dan proses pengambilan keputusan. Namun, fokus utama pada penguatan ekonomi digital, inovasi, dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan diperkirakan akan tetap berlanjut. Meskipun para pejabat baru mungkin memerlukan waktu untuk beradaptasi, mereka memiliki modal berupa jaringan dan pengalaman yang kuat. Meski demikian, dampak jangka menengah hingga panjang dari pengangkatan pejabat baru ini akan bergantung pada apakah mereka akan tetap menduduki posisi yang sama ketika kabinet baru diumumkan pada akhir Oktober 2024.
Pembaruan Regulasi di Berbagai Tingkatan: Nasional, Sektoral, dan Teknis
Seiring dengan pergantian pejabat, berbagai kebijakan juga mengalami revisi dan pembaruan di tingkat nasional, sektoral, dan teknis.
Di level undang-undang, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kembali direvisi melalui UU No. 1 Tahun 2024. Perubahan mencakup penguatan keamanan tanda tangan elektronik untuk transaksi berisiko tinggi, penerapan hukum Indonesia pada kontrak elektronik internasional yang melibatkan pihak Indonesia, serta larangan penyebaran konten elektronik yang menyesatkan atau berbahaya. Revisi ini bisa menjadi tantangan bagi perusahaan multinasional yang mungkin perlu meninjau ulang dan merevisi kontrak yang sudah ada untuk memastikan kepatuhan.
Perubahan regulasi juga berdampak pada kebijakan sektoral. Kominfo mengeluarkan aturan baru tentang sanksi ketidakpatuhan bagi penyedia sistem elektronik (PSE) dan klasifikasi permainan (games). OJK menerbitkan peraturan kehati-hatian untuk mendukung inovasi teknologi keuangan (FinTech). Sementara itu, Bank Indonesia memperbarui kebijakan Transfer Dana dan Kliring Terjadwal untuk meningkatkan keamanan, efisiensi, dan keandalan sistem pembayaran. Meski berpotensi memperkuat kepercayaan digital, pembaruan regulasi ini juga bisa menambah kompleksitas. Pelaku bisnis mungkin memerlukan sumber daya lebih untuk memastikan kepatuhan, sementara usaha kecil bisa menghadapi kesulitan di awal implementasi karena beban administratif dan keuangan baru.
Di tingkat teknis, beberapa regulasi baru juga diperkenalkan. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) menerapkan penilaian mandiri keamanan informasi untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta kebijakan penanganan insiden dan krisis siber sebagai upaya penyelarasan dengan tujuan keamanan nasional. Kementerian Perdagangan membentuk tim pendampingan untuk meningkatkan efektivitas pengawasan perdagangan elektronik. Sementara itu, Kementerian Keuangan menerbitkan Pedoman Penggunaan Sistem Informasi Kredit Program (SIKP) untuk meningkatkan efektivitas program kredit bagi UMKM melalui platform informasi yang aman dan komprehensif. Meski implementasi kebijakan-kebijakan ini mungkin menambah persyaratan kepatuhan bagi bisnis, terutama UMKM, namun jika diterapkan dengan baik, bisa meningkatkan akses kredit dan perlindungan terhadap ancaman siber.
Mendukung Visi Jangka Panjang
Meskipun pembaruan regulasi tampak memprioritaskan keamanan nasional dan perlindungan konsumen, peningkatan beban kepatuhan bisa secara tidak sengaja menciptakan hambatan bagi pelaku pasar untuk masuk dan berkembang. Hal ini berpotensi membatasi keragaman dan daya saing ekonomi digital Indonesia. Efektivitas dan dampak ekonomi yang lebih luas dari pendekatan ini masih perlu dilihat. Strategi yang lebih seimbang, yang memadukan langkah-langkah keamanan yang kuat dengan ruang untuk inovasi dan pertumbuhan, mungkin diperlukan.
Perundang-undangan tingkat nasional juga menghadirkan tantangan tersendiri karena bergantung pada peraturan turunan (seperti peraturan pemerintah dan menteri) untuk memastikan kepatuhan dan mengoperasionalkan amandemen. Contohnya, Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2019 yang mengatur pelaksanaan sistem dan transaksi elektronik masih perlu disesuaikan dengan amandemen UU ITE yang baru. Hal ini menciptakan ketidakpastian bagi pelaku bisnis dan pemangku kepentingan. Kesenjangan ini menegaskan perlunya pembaruan tepat waktu terhadap peraturan terkait untuk memberikan kejelasan dan memastikan implementasi yang terpadu.
Meski demikian, pembaruan regulasi bertahap mengenai peningkatan kepercayaan digital, keamanan, dan dukungan untuk UMKM sejalan dengan visi yang digariskan dalam Visi Indonesia Digital (VID) 2045. VID 2045 menekankan penciptaan akses universal terhadap literasi digital dan pendidikan STEM di seluruh Indonesia, mendorong kolaborasi antar pemangku kepentingan, dan membangun kemitraan untuk menyediakan kesempatan peningkatan keterampilan, terutama bagi UMKM dan kelompok masyarakat yang kurang terlayani. Selain itu, Buku Putih tentang Strategi Nasional Pengembangan Ekonomi Digital 2030 memberikan kerangka strategis untuk pengembangan ekonomi digital, menyoroti kebutuhan akan pertumbuhan yang didorong inovasi dan inklusivitas digital. Meskipun dokumen-dokumen ini tidak mengikat secara hukum, keduanya berfungsi sebagai cetak biru penting untuk transformasi digital jangka panjang, menetapkan tujuan ambisius bagi Indonesia untuk menjadi pemimpin digital global pada tahun 2045.
Konvergensi Kebijakan Regional dan Kepatuhan
Pembaruan regulasi Indonesia yang terkait keamanan siber memiliki potensi konvergensi regulasi di Asia Tenggara, sejalan dengan Strategi Kerja Sama Keamanan Siber ASEAN. Namun, perbedaan mungkin muncul dalam kecepatan implementasi dan alokasi sumber daya, mengingat negara-negara seperti Singapura dan Malaysia telah memiliki kerangka keamanan siber yang lebih mapan.
Revisi terbaru UU ITE dapat dilihat sebagai langkah menuju harmonisasi regulasi transaksi digital. Meski demikian, revisi ini belum secara langsung menangani isu aliran data lintas batas, yang menjadi prioritas utama DEFA (Digital Economy Framework Agreement). Sikap Indonesia yang tetap pada pendirian terkait lokalisasi data mungkin berbeda dengan negara-negara seperti Singapura yang mendukung aliran data bebas. Perbedaan dalam implementasi keamanan siber dan sikap mengenai aliran data ini menunjukkan rumitnya keseimbangan antara kedaulatan nasional dan integrasi regional dalam kebijakan digital.
Langkah-langkah kebijakan Indonesia juga dapat mendukung kebijakan tingkat regional. Misalnya, fokus pada pengamanan transaksi elektronik, seperti terlihat dalam regulasi OJK dan BI, dapat berkontribusi pada pengembangan identitas digital yang interoperabel, yang merupakan komponen kunci dari DEFA. Pengakuan bersama atas identitas digital di seluruh ASEAN dapat meningkatkan kepercayaan dan memperlancar transaksi digital secara regional.
Tergantung pada implementasinya, fokus regulasi pada keamanan siber dan fintech kemungkinan akan menarik investasi, terutama di bidang infrastruktur dan layanan digital, sehingga mendukung tujuan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini sejalan dengan tujuan DEFA untuk menjadikan Asia Tenggara sebagai tujuan investasi yang menarik. Selain itu, Indonesia dapat memberdayakan UMKM-nya untuk berpartisipasi lebih efektif dalam pasar digital regional, dan mendukung tujuan pertumbuhan inklusif DEFA.
Akhirnya, penerapan perubahan regulasi ini membutuhkan sumber daya yang besar, yang mungkin membebani usaha-usaha kecil. ASEAN dapat memfasilitasi inisiatif berbagi sumber daya untuk mendukung negara-negara seperti Indonesia dalam membangun infrastruktur digital yang kuat. Meskipun pembaruan regulasi Indonesia sejalan dengan tujuan DEFA, dialog dan kolaborasi yang berkelanjutan dengan anggota ASEAN lainnya sangat penting untuk menyelaraskan regulasi dan menghindari fragmentasi kebijakan.
Tentang penulis:
Beltsazar Krisetya adalah Peneliti di Departemen Politik dan Perubahan Sosial, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia. Keahliannya meliputi bidang disinformasi, privasi data, keamanan siber, dan implikasi teknologi digital terhadap masyarakat dan politik di Indonesia dan Asia Tenggara. Saat ini, ia menjadi Peneliti Utama di inisiatif Safer Internet Lab (SAIL), sebuah program penelitian kolaboratif antara CSIS dan Google.
Pandangan dan rekomendasi yang disampaikan dalam artikel ini sepenuhnya merupakan pendapat penulis dan tidak mencerminkan pandangan serta posisi resmi Tech for Good Institute